• Jelajahi

    Copyright © Kontras Media
    media news network

    Iklan

    Iklan Beranda

    Tambang Timah Bangka Belitung: Antara Devisa dan Derita

    Thursday, December 4, 2025, 9:32 PM WIB

     

    Penulis: Nadira Assyifa Putri

    Pernahkah kita bertanya, berapakah sebenarnya harga timah? Apakah begitu mahal hingga tak memedulikan tanah yang rebah, laut yang resah, dan warga yang hidup dalam gelisah? Apakah nilainya sedemikian megah sampai derita dianggap celah, luka dianggap lumrah, dan keserakahan dibungkus seolah berkah?


    Pertanyaan itu penting diajukan ketika kerusakan yang kasat mata justru dibungkus narasi kemajuan. Lubang-lubang tambang disebut peluang, air keruh dianggap wajar, dan deru mesin perlahan meredam suara warga yang keberatannya jarang sungguh-sungguh didengar. Seakan-akan penderitaan hanyalah catatan kaki yang boleh dilewati tanpa dibaca.


    Padahal setiap hektare tanah yang terkoyak menyimpan kisah yang lebih gelap daripada angka ekspor: nelayan yang kehilangan lautnya, petani yang kehilangan tanahnya, dan anak-anak yang tumbuh tanpa lagi mengenali wajah alam yang dulu mereka warisi.


    Industri timah memang telah lama menjadi tulang punggung ekonomi daerah. Ribuan keluarga menggantungkan hidup pada sektor ini, baik melalui perusahaan resmi maupun tambang rakyat. Namun di balik kontribusinya terhadap devisa negara, tambang timah juga meninggalkan jejak panjang kerusakan ekologis.


    Hutan yang menghilang, pesisir yang rusak, dan lubang-lubang raksasa yang dibiarkan menganga adalah realitas yang tidak bisa ditutup dengan retorika. Masalahnya bukan terletak pada tambangnya semata, tetapi pada tata kelola yang belum sepenuhnya mencerminkan prinsip keberlanjutan.


    Banyak izin diterbitkan tanpa pengawasan yang memadai. Reklamasi sering berhenti sebagai syarat administratif, bukan kewajiban yang benar-benar dijalankan. Tambang ilegal pun tumbuh tanpa kendali, menciptakan kerusakan yang tak lagi mudah dihitung. Ketika penegakan hukum hanya mengetuk pelan, keadilan pun tak pernah benar-benar datang.


    Di titik ini pula publik berhak mempertanyakan arah kebijakan negara. Pemerintah sering berbicara tentang hilirisasi, peningkatan nilai tambah, dan pembangunan industri nasional. Namun apakah visi itu berjalan seiring dengan perlindungan lingkungan dan keselamatan masyarakat? Atau justru keduanya dibiarkan sebagai korban sampingan dari ambisi ekonomi yang tak kunjung ditata ulang?


    Konflik sosial pun tak terhindarkan. Ketergantungan masyarakat terhadap tambang membuat mereka berada dalam posisi dilematis: di satu sisi tambang memberi penghasilan, tetapi di sisi lain tambang yang sama merusak ruang hidup mereka sendiri.


    Ketimpangan manfaat, ketidakpastian ekonomi, serta minimnya ruang dialog memperuncing ketegangan di tingkat akar rumput. Yang bersuara sering kali dibisukan oleh rasa takut, sementara yang berkepentingan bersembunyi di balik legalitas yang tampak rapi.


    Sudah saatnya pemerintah daerah dan pusat memperkuat tata kelola pertambangan timah di Bangka Belitung. Pengawasan harus tegas, izin harus dievaluasi berkala, dan pelanggaran harus ditindak tanpa pilih kasih.


    Tambang yang mengabaikan reklamasi harus dihentikan, sementara operasi ilegal tidak boleh dibiarkan tumbuh seperti bayangan gelap tanpa lawan. Transparansi data produksi, distribusi, hingga rantai perdagangan perlu dibuka kepada publik agar kebijakan tak lagi berjalan dalam kabut kepentingan.


    Dalam jangka panjang, diversifikasi ekonomi adalah kebutuhan mendesak. Ketergantungan pada satu komoditas membuat daerah rapuh, baik secara ekologis maupun sosial.


    Pengembangan sektor alternatif seperti pariwisata, perikanan berkelanjutan, dan ekonomi kreatif adalah langkah penting agar masa depan Bangka Belitung tidak terus ditentukan oleh berapa banyak timah yang dikeruk dari perut bumi.


    Karena pada akhirnya, kekayaan alam bukan soal nilai ekspor, melainkan tentang keberlanjutan, keadilan, dan keberanian sebuah bangsa menjaga sumber dayanya.


    Jika kita terus menutup mata, yang akan tersisa hanyalah tanah yang terengah, laut yang letih, dan masyarakat yang akhirnya bertanya: “Berapa sebenarnya harga yang harus dibayar untuk sebuah kekayaan?”


    *) Mahasiswa Program Studi S1 Hukum, Universitas Bangka Belitung


    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Pilkada Ulang 2025

    Fery Insani - Syahbudin nomor urut 1

    Paslon Naziarto - Usnen nomor urut 2

    Paslon Aksan Visyawan - Rustam Jasli nomor urut 3

    Paslon Andi Kusuma - Budiyono nomor urut 4

    Rato Rusdiyanto - Ramadian nomor urut 5

    Wisata

    +
    CLOSE ADS
    CLOSE ADS
    close